Friday, 5 October 2018
Thursday, 4 October 2018
ALAT PERAGA PENYULUHAN FOLDER: "PENANGANAN INSANG BUSUK"
Kelompok 6
Nama Anggota Kelompok:
- Alfian Sita Arum M (16/395770/PN/14621)
- Mega Oceanna (16/398820/PN/14791)
- Yohanes Bayu N (16/398838/PN/14809)
- Fatimah Zahra A (16/405697/PN/14918)
Alat Peraga Penyuluhan Folder "Budidaya Tanaman Tomat" Kelompok 1
Alat Peraga Penyuluhan Folder "Budidaya Tanaman Tomat"
Golongan A5.2 Kelompok 1
Oleh:
1.
Ni Luh Putu Mita R. (16/394356/PN/14595)
2.
IMD Wahyu Candra (16/395787/PN/14638)
3.
Bella Megarani W. (16/398803/PN/14774)
4.
Aziz Fatkhur R. (17/414696/PN/15277)
ALAT PERAGA PENYULUHAN POSTER : POLA TANAM JAJAR LEGOWO 2:1
disusun oleh :
Kelompok 5 :
Aprilia
Kartini 16/395564/PN/14605
Naila
Ulyan Niami 16/398822/PN/14793
Sohmono
Hendraios 16/398833/PN/14804
Intan
Puspa 17/412856/PN/15178
Golongan A5.2
Wednesday, 3 October 2018
POSTER AKUAPONIK EFISIENSI PENGGUNAAN AIR (KELOMPOK 4)
POSTER AKUAPONIK EFISIENSI PENGGUNAAN AIR
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
1. DHIAN WINABILLA B. 14893
2. GHASSAN NURUL HUDA 14784
YUSTIKA PRATIWI 14600
4. RAHMAH ALYA'AINUN 14906
Alat Peraga Penyuluhan Leaflet : Bercocok Tanam Semangka
Disusun oleh Kelompok 3 :
RESA ARUM S. / 14599
SYAFIRA WIJAYA P. / 14910
RAMADHAN ALIF F. / 14640
DYAH AYU L. / 14779
Alat Peraga Penyuluhan Poster : Pembasmian Hama Tikus Dengan Burung Hantu (Tyto alba)
Disusun Oleh :
Beata Agni Eka H.16/398802/PN/14773
Novian Astri Ardiana 16/398930/PN/14901
Ryan Nugroho 17/409655/PN/15043
Tuesday, 11 September 2018
Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung Kabupaten Bantul DIY
Nama : Ghassan Nurul Huda
NIM : 16/398813/PN/14784
No absen : 16
Prodi : Manajemen Sumberdaya Akuatik
Prodi : Manajemen Sumberdaya Akuatik
Indonesia merupakan negara agraris yang identik
dengan pertanian. Potensi di bidang pertanian yang dimiliki Indonesia dapat
dikembangkan dan dapat menjadi salah satu bidang yang sangat penting perannya
dalam meningkatkan pendapatan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS), pada Bulan Februari 2013 dapat diketahui bahwa sebesar 39.959.073
penduduk Indonesia mengandalkan sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan
utama. Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 2,77% dari perhitungan
sebelumnya pada Bulan Agustus 2012. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa bidang
pertanian memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan lapangan pekerjaan
utama, salah satunya yaitu bidang pertanian yang merupakan sumber makanan utama
masyarakat. Sebagian besar pertanian di indonesia adalah pertanian modern yang
menggunakan bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Seiring berjalannya
waktu pertanian di indonesia beralih ke pertanian organik untuk meningkatkan
produktivitas kesuburan tanah.
Pada jurnal yang berjudul “Pengembangan Pertanian
Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung Kabupaten Bantul DIY” ini
diadakan penelitian yang bertujuan menganalissis hubungan karakteristik petani
dengan respon petani pada pertanian organik, menganalisis sejauhmana respon
petani pada pertanian organik dapat mempengaruhi kondisi ekonomi petani dan
menganalisis sejauhmana peluang petani konvensional menerapkan pertanian
organik. Kelompok Tani Madya merupakan salah satu organisasi petani yang
terdapat di Desa Kebonagung. Kelompok ini bergerak di bidang budidaya tanaman
padi dan telah diresmikan oleh Kepala Desa Kebonagung pada 6 Agustus 1981.
Ketua kelompok tani Madya pertama adalah seorang kepala dukuh yang bernama Pramogo
Suharjo dengan jumlah anggota awal sebanyak 63 orang. Saat ini, kelompok tani
Madya diketuai Ngatidjo yang dipilih berdasarkan hasil musyawarah dan kelompok
tani ini memiliki anggota sebanyak 119 dengan komposisi 46 orang petani organik
dan 73 orang petani konvensional. Sejak tahun 2008 mencoba untuk menerapkan pertanian
organik. Kelompok tersebut juga telah mendapatkan sertifikat sebanyak dua kali
yaitu pada tahun 2010 dan 2013 sebagai penghargaan yang diberikan oleh Lembaga
Sertifikasi Persada. Pada tahun 2010, kelompok tani Madya mendapatkan
sertifikat organik dengan No. Register 001-2501-10 karena telah melaksanakan
sistem manajemen organik sesuai dengan SNI 01-6792-2002 untuk budidaya tanaman
padi. Pada tahun 2013, kelompok tani Madya kembali mendapatkan sertifikat
organik denga No. 012/P/1012/2012 dari Lembaga Sertifikasi Pangan Organik
LSPO-007-IDN dan Lembaga Sertifikasi Persada karena telah menerapkan sistem
produksi pangan organik sesuai SNI 6729-2010-Organic Food & Production
System dan CAC/GL 32/1999 Codex Alimentarius Commission Guidelines for the
production, processing, labelling and marketing of organically produced foods.
Setelah diadakan penelitian kepada responden yang
berjumlah 60 orang yang terdiri dari 30 orang petani organik dan 30 orang
petani konvensional dengan karakteristik petani terdiri dari tingkat pendidikan
formal, tingkat pengalaman bertani, tingkat keberanian mengambil resiko,
tingkat jejaring yang dimiliki petani, dan tingkat kepemilikan alat produksi
didaptkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara karakteristik petani
organik dengan respon petani pada pertanian organik dan terdapat hubungan
antara pendidikan formal dan keberanian mengambil resiko petani konvensional
dengan respon petani pada pertanian organik, tidak terdapat hubungan antara
respon petani pada pertanian organik dengan pendapatan petani. Hal ini terjadi
bahwa karena tinggi rendahnya pendapatan petani tergantung pada nilai jual hasil
pertanian yang dihasilkan, dan terdapat peluang yang cukup besar pada petani
konvensional untuk menerapkan pertanian organik.
Sumber :
Emiria F dan Purwandari H. 2014. Pengembangan Pertanian Organik di
Kelompok Tani Madya, Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jurnal Penyuluhan 10 : (2)
Resume Jurnal 14775
Journal
article title
|
Impact
of agricultural extension service on adoption of chemical fertilizer:
Implications for rice productivity and development in Ghana
|
Journal
|
NJAS – Wageningen Journal of Life Sciences 79 (2016)
|
Pages
|
41-49
|
Writers
|
Donkor Emmanuel, Enoch, Owusu-Sekyere,
Victor Owusu, Henry Jordaan
|
Reviewer
|
Brigita
E K Sidharta
|
1. Introduction
In Ghana, about 60% of the population are rural dwellers who depend either directly or indirectly on agriculture for their livelihood and survival. This indicates that agriculture plays a critical role in promoting economic growth, food security, poverty reduction, livelihoods and rural development. The deficit in food supply is sufficed by imports. However, the reliance on food imports to meet the expected food supply by the year 2020 may not be economically sustainable. This calls for an urgent need to increase domestic food production by paying critical attention to a green revolution in Africa. However, evidence shows that adoption of chemical fertilizer is low in Africa, particularly among rice producers in Ghana. One of the avenues for increasing the adoption of chemical fertilizer in the country is through the efficient agricultural extension service. Agricultural extension strengthens a farmer’s capacity to innovate by providing access to knowledge and information. Farmers also advocate that the development of agriculture depends largely on access to new technologies and information. However, it is evident that farmers’ access to agricultural extension in the country is low. A number of empirical studies have been conducted on the adoption of chemical fertilizer in Africa. However, few studies exist on the impact of agricultural extension service on the adoption of chemical fertilizer and the resulting impact on rice productivity. This paper therefore contributes to the existing empirical literature on the adoption of soil improvement technologies by analyzing the impact of agricultural extension service on adoption of chemical fertilizer, taking into account endogeneity and selection biases. Selection bias occurs because adoption of chemical fertilizer and access to extension services by farmers in Ghana are not randomly assigned.
2. Methodology
The researcher using conceptual
framework and empirical strategy to determining simultaneously the determinants
of adoption of chemical fertilizer and access to agricultural extension
service. The data employed in the study was obtained from the Ghana
Agricultural Production Survey which was conducted in 2011. A multistage
sampling technique was used to select the respondents. The first stage involves
the purposive selection of rice producing regions in Ghana. Rice producing
districts were stratified in the second stage. The next stage involved random
sampling of rice- farmer households. The total sample size was 470. This
comprised 120 rice farmers from Bawku district and 350 rice farmers from Kassena
Nankana district. The descriptive and empirical results were analyzed using
Stata 13.
3. Results and discussions
The descriptive results reveal
that access to agricultural extension services in Ghana is low, as about 62% of
sampled farmers did not receive agricultural extension services. This provides
support for examining the possible factors influencing a farmer’s access or
lack of access to agricultural extension services, particularly from the
farmer’s point of view. The results show that 65% of rice farmers who received
extension services are located in Kassena Nankana district, while the remaining
farmers are located in the Bawku Municipal area. The descriptive observed that
the adoption of chemical fertilizer in Ghana, particularly in the northern
part, is low. The study shows that only 30% of the farmers interviewed applied
chemical fertilizers on their rice fields. The farmers applied chemical
fertilizer types such as NPK 15:15:15, sulphate of ammonia and urea. There are
significant differences in the socioeconomic, institutional and technological
factors relating to the adopters and non-adopters of chemical fertilizer.
The empirical results show that
the Wald Chi-square is statistically significant at 1% level, suggesting that
the explanatory variables jointly determine the adoption of chemical fertilizer
among rice producers. The Chi-square statistic for endogeneity test is
statistically significant at 5%, indicating the endogeneity assumption
regarding access to extension service in the chemical adoption model is
validated. This implies that the extension variable should be treated as
endogenous in adoption specifications and this justifies the use of an
instrumental variable approach.
The results show that farmers
who have adequate access to extension service have a higher probability of
adopting chemical fertilizer. This suggests that extension delivery should be
given the necessary attention by policy makers, if the aim is to increase productivity
through application of chemical fertilizers in Africa. The results confirm the
usefulness of extension services in promoting agricultural technology in
developing countries. The determinants of access to agricultural extension
services results indicate that rice producers who adopt row planting have a
higher probability of contacting agricultural extension officers for production
information.
The results modelling the impact
of agricultural extension service on fertilizer application using the PSM indicate
that agricultural extension service tends to impact positively on the quantity
of chemical fertilizer applied by farmers. Farmers who have access to extension
services, on aver- age, applied 93.46 kg/ha quantity of fertilizer, which is
significantly higher than that of farmers who have no access, with an average
application rate of 67.80 kg/ha. The ATT shows that farmers who had access to
agricultural extension services applied 25.84 kg/ ha more than farmers who had
no access did.
4. Conclusions
The current food insecurity
situation and high demand for food commodities calls for an urgent need to
increase food production. One of the avenues to increase the adoption of
chemical fertilizer is through the provision of an efficient agricultural extension
service. Therefore, the present study has examined the impact of agricultural
extension service on the adoption of chemical fertilizer. Based on empirical
findings, we conclude that the agricultural extension variable is endogenous in
the adoption model. Hence, we recommend that future studies on adoption and
agricultural extension should adopt empirical models that account for
endogeneity in order to achieve efficient estimates. to ensure food security
and increase food production in sub-Saharan Africa, particular attention should
be given to agricultural extension services. We also conclude that the probability
of adopting chemical fertilizer and agricultural extension services is lower
among older farmers, relative to younger farmers. Gender and education play
significant roles in the adoption of chemical fertilizer and extension
services, with males and educated farmers having a higher likelihood of
adoption.
Moreover, farmers who cultivate
larger farms have a higher probability of adopting chemical fertilizer and
accessing agricultural extension services. Technological factors, such as row
planting and irrigation farming, facilitate the use of chemical fertilizer and
access to agricultural extension services, respectively. Institutional factors,
such as credit access and leasing, enhance farmers’ access to agricultural
extension services. Generally, we conclude that socioeconomic, institutional
and technological variables are crucial in the adoption of chemical fertilizer,
as well as participation in agricultural extension services. Researcher
suggest that, in order to enhance the adoption of chemical fertilizer, policy
makers should target equipping extension agents with adequate items of
infrastructure that enable their easy movement to the farmers. In addition,
more extension agents should be trained and deployed in the country to reduce
the workload of the limited number of extension agents available, with the goal
of increasing rice productivity.
Source: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1573521416300537
Tugas resume jurnal DPKP
Nama : Jhon Rois Martua Togatorop
NIM : 16/395788/PN/14639
Prodi : Teknologi Hasil Perikanan
Gol : A 5.2
NIM : 16/395788/PN/14639
Prodi : Teknologi Hasil Perikanan
Gol : A 5.2
KOMUNIKASI PENYULUH PERTANIAN DALAM PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT PETANI PADA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN DAN KETAHANAN PANGAN
Komunikasi
Penyuluh Pertanian merupakan bentuk upaya pemerintah
dalam memberdayakan masyarakat petani yang ada di Kecamatan Gunung Kijang untuk
meningkatkan sumber daya manusia petani lebih berkualitas agar hasil yang
didapat daripertanian juga berkualitas. Pertanian adalah sumber mata
pencaharian sebagian masyarakat di desa
khususnya di Kecamatan Gunung Kijang, untuk itu Badan PelaksanaPenyuluhan dan
Ketahanan Pangan sebagai instansi yang melembagai penyuluh pertanian berkewajiban
untuk memberikan informasi pertanian kepada masyarakat petani dalam meningkatkan
taraf hidup dan mensejahterakan kehidupan petani serta keluarganya. Masalah
yang diambil dalam penelitian ini adalah Bagaimana Komunikasi Penyuluh
Pertanian dalam Pemberdayaan Masyarakat Petani pada Badan Pelaksana Penyuluhan
dan Ketahanan Pangan di Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan dengan tujuan
untuk mengetahui Komunikasi Penyuluh Pertanian dalam Pemberdayaan Masyarakat
Petani di Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan. Penelitian ini menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif , jenis penelitiannya adalah deskriptif. Lokasi
penelitian yaitu di Kecamatan Gunung Kijang.
Peranan
penyuluhan dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu menyadarkan masyarakat atas peluang
yang ada untuk merencanakan hingga menikmati hasil pembangunan, memberikan kemampuan
masyarakat untuk menentukan program pembangunan, memberi kemampuan masyarakat dalam
mengontrol masa depannya sendiri, dan memberi kemampuan dalam menguasai
lingkungan sosialnya. Proses penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat
berjalan dengan baik dan benar apabila didukung dengan tenaga penyuluh yang
profesional, kelembagaan penyuluh yang handal, materi penyuluhan yang
terus-menerusmengalir, sistem penyelenggaraan penyuluhan yang benar serta
metode penyuluhan yang tepat. Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan
(BPPKP) Kabupaten Bintan sebagai instansi yang melembagai penyuluh pertanian bertugas
untuk pembangunan pertanian yang di dalamnya mencakup sektor tanaman pangandan
hortikultura di Kabupaten Bintanselain mengacu pada Rencana Pembangunan
Kabupaten Bintanjuga mengacu kepada program nasional yaitu program Pengembangan
Agribisnis dan Peningkatan Ketahanan Pangan serta Peningkatan Sarana Produksi Pertanian.
Untuk itu Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPPKP) menyediakan
tenaga penyuluh untuk membantu masyarakat petani di Kabupaten Bintan agar dapat
membangun pertanian yang lebih maju dan berkembang.Di Bintan hingga saat ini kontribusi
sektor pertanian terhadap perekonomian daerah cukup besar, namun kesejahteraan
petani belumbanyak mengalami perubahan. Kemiskinan yang terjadi di pedesaan secara
umum merupakan cerminan kemiskinan rumah tangga petani. Sempitnya penguasaan
lahan serta lemahnya akses petani kepada sumber daya produktif pertanian, seperti
yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan
(SP3K) Tahun 2006 Bab I, Pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa penyuluh pertanian,
perikanan, kehutanan yang selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses
pembelajaran bagipelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu
menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, tekhnologi,
permodalan, dan sumberdaya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas,efesiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraan, serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Karena
sumbe rinformasi tekhnologi dan pasar ,permodalan merupakan faktor yang membatasi
kemampuan petani untuk mengembangkan usahanya secara layak.Namun kegiatan
penyuluhan pertanian berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan antara lain keterbatasan
tenaga penyuluh, keterbatasan dipihak petani misalnya tingkat pendidikan formal
petani yang sangat bervariasi, keterbatasan sarana dan waktu penyuluhan bagi petani.
Keterbatasan tenaga penyuluhdi Kabupaten Bintan terlihat dari jumlah penyuluh
yang sedikit dibanding dengan jumlah desa yang ada disetiap Kecamatan. Untuk
itu perlu diimbangi dengan meningkatkan media penyuluhan pertanian. Melalui
media penyuluhan pertanian petani dapat meningkatkan interaksi dengan penyuluh
sehingga prose spenyuluhan berjalan. Peranan media penyuluhan pertanian dapat
ditinja udari beberapa segi yaitu dari proses komunikasi, segi proses belajar
dan segi peragaan dalam proses komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting
untuk menjalin hubungan kerjasama yang baik antara penyuluh dengan petani,
serta mempunyai pengaruh yang besar dalam proses pencapaian tujuan pertanian.
Keberhasilan komunikas iakan tercapai apabila pemberi pesan dan penerima pesan
sama-sama mengerti maksud dari penyampaian pesan tersebut dan telah memiliki kesimpulan
yang sama sesuai dengan maksud yang terkandung dalam pesan yang disampaikan
tersebut.
Resume Jurnal : EFEKTIVITAS
PERAN PENYULUH SWADAYA DALAM PEMBERDAYAAN PETANI DI PROVINSI JAWA BARAT
Berkurangnya tenaga penyuluh
pemerintah di lapangan menyebabkan kesenjangan inovasi petani terhadap
perubahan informasi yang cepat dan menurunnya efektivitas kegiatan penyuluhan.
Akibatnya petani tidak berdaya dalam menghadapi perubahan di lingkungannya
sendiri terutama berkenaan dengan usaha tani, sehingga peran penyuluh masih
dibutuhkan kehadirannya oleh petani untuk mengatasi hal tersebut. Idealnya
penyuluh pertanian mampu menjadi motivator, dinamisator, fasilitator dan
konsultan bagi petani. Penyuluh pertanian juga harus dapat mendiagnosis
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh kelayan (petani), membangun dan
memelihara hubungan dengan sistem kelayan, memantapkan adopsi, serta mencegah penghentian
adopsi. penyuluh yang tepat untuk saat ini dan dapat diandalkan dalam
menyampaikan pesan inovasi adalah penyuluh yang berasal dari petani itu
sendiri. Petani yang memainkan perannya
sebagai penyuluh untuk petani lainnya merupakan bentuk partisipasi puncak dari
seorang petani dalam pembangunan pertanian . Petani semacam itu dan petani yang
memiliki sifat kepemimpinan, menjadi teladan bagi pelaku utama dan pelaku usaha
dikelompokkan sebagai penyuluh swadaya (Permentan 68 tahun 2008). Petani dengan
sifatsifat maju tersebut selanjutnya berperan sebagai penyuluh swadaya dan
melaksanakan penyuluhan secara swadaya.
Terkait dengan kondisi tersebut,
potensi penyuluh swadaya untuk dapat terlibat lebih intensif berperan dalam
penyelenggaraan penyuluhan saat ini masih sangat memungkinkan. Secara nasional
jumlah penyuluh swadaya yang bergerak di sektor pertanian saat ini sebanyak
21.438 orang (Pusluhtan-Kementan 2017). Sementara untuk Provinsi Jawa Barat
sendiri terdapat 2.122 orang penyuluh swadaya. Oleh karena itu, hadirnya
penyuluh swadaya diharapkan dapat mengatasi salah satu permasalahan kurangnya
tenaga penyuluh dalam memberdayakan petani.
Beberapa perubahan yang diharapkan dengan adanya penyuluh swadaya adalah
meningkatnya efektivitas penyuluhan dan pemberdayaan petani. Hasil dari
kegiatan pemberdayaan petani oleh penyuluh swadaya tersebut diharapkan
terjalinnya kerjasama sesama petani yang semakin kuat, petani memiliki
kemampuan dalam mencari dan memilih informasi yang sesuai untuk memenuhi
kebutuhannya dan peluang, serta memiliki adaptasi inovasi pada lingkungan
petani. Oleh karena itu, petani saat ini
tidak membutuhkan sekedar penyuluh, namun seorang pendamping yang berpihak,
terlibat aktif, mau berbagi pengetahuannya, dan hidup bersama di tengah
masyarakat petani (Syahyuti, 2014). Tampaknya penyuluh swadaya merupakan sosok
yang dibutuhkan untuk itu. Hal ini karena penyuluh swadaya merupakan bagian
dari komunitas petani sehingga lebih memiliki rasa empati untuk membantu
sesamanya.
Keefektivan pemberdayaan yang
dilakukan oleh penyuluh swadaya secara keseluruhan berada dalam kategori
tinggi, dengan arti lain telah efektif dalam membantu petani memperoleh
informasi yang dibutuhkan untuk usahataninya sehingga diantara petani mampu
bekerjasama dengan baik dan mampu memilih inovasi yang sesuai dengan spesifik
lokasi atau menerapkan inovasi lokal yang ada di wilayahnya. Keefektivan
pemberdayaan petani diukur dari pemenuhan kebutuhan informasi yang dibutuhkan
oleh petani, tingkat kerjasama diantara petani dan tingkat adaptasi inovasi di
lingkungan petani. Hal ini sesuai dengan
yang disampaikan oleh Axinn (1988) yaitu penyuluhan dari petani ke petani mampu memberikan
kombinasi antara pengetahuan setempat (indigenous knowladge) dengan ilmu
pengetahuan (science) yang lebih menekankan pada kebutuhan petani sasaran.
Tingkat keefektivan pemberdayaan
petani yang dilaksanakan oleh penyuluh swadaya di setiap kabupaten relatif sama
terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan informasi dan kerjasama diantara sesama
petani. Hadirnya penyuluh swadaya di
tengah komunitasnya mampu memberikan perbedaan kepada petani terutama dalam
memperoleh informasi yang dibutuhkan. Petani
memiliki kecenderungan dalam mencari dan menyebarluaskan informasi melalui
saluran interpersonal, yaitu diantara penyuluh swadaya dan petani. Kondisi ini menegaskan bahwa penyuluh
swadaya memiliki kemampuan dalam mengembangkan komunikasi partisipatif dengan
petani dan mampu membangun jaringan berbasis komunitas. Sosok penyuluh swadaya
dianggap memiliki keunggulan dari sisi tersebut. Hadirnya penyuluh swadaya
diharapkan menjadi salah satu alternatif merubah pola top down penyuluhan yang
selama ini dijalankan oleh pemerintah menjadi lebih partisipatif. Target akhirnya,
adalah membangun dan memelihara hubungan interaktif antara pemerintah, swasta,
dan komunitas petani.
Sumber: Haryanto. Y., Sumardjo, S. Amanah, P. Tjitropranoto. 2017. EFEKTIVITAS PERAN PENYULUH SWADAYA DALAM PEMBERDAYAAN PETANI DI PROVINSI JAWA BARAT. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 20, No.2, 2017: 141-154
Sumber: Haryanto. Y., Sumardjo, S. Amanah, P. Tjitropranoto. 2017. EFEKTIVITAS PERAN PENYULUH SWADAYA DALAM PEMBERDAYAAN PETANI DI PROVINSI JAWA BARAT. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 20, No.2, 2017: 141-154
Oleh Azis Fatkhur Rahman
(17/414696/PN/15277). No Presensi; 33
Subscribe to:
Posts (Atom)